Pengertian sahabat
Sahabat ialah seseorang yang bertemu Nabi Muhammad dalam keadaan islam dan meninggal di atas agama islam. (Tadrib Ar-Rawi: 2/209)
Dua syarat ini harus terpenuhi agar seseorang itu dikatakan sebagai sahabat Nabi z. Jika ada seseorang yang bertemu Nabi z namun dirinya masih dalam kekafiran dan baru masuk islam setelah wafatnya, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai sahabat. Atau, ia bertemu Nabi z dan dirinya dalam keadaan islam, kemudian ia murtad setelah itu, maka ia pun tidak bisa dikatakan sebagai sahabat Nabi z. Bahkan jika setelah murtadnya kemudian ia masuk islam setelah wafatnya Nabi z, ia juga tidak bisa dikatakan sebagai sahabat Nabi z.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah r, karena menurutnya murtad itu menghapus amalan-amalan yang sebelumnya. Sehingga secara zahir murtad itu juga menghapus status sebagai seorang sahabat yang disandang sebelumnya. Hal ini seperti yang terjadi pada Quroh bin Maisaroh dan Al-Asy’ats bin Qais.
Adapun jika ia kembali masuk islam saat Nabi z masih hidup, maka ia tetap dikategorikan sebagai seorang sahabat. Seperti yang terjadi pada Abdullah bin Siroj .
Para sahabat dalam Al-Qur’an
Allah telah memuji kedudukan dan kemuliaan para sahabat Nabi z secara umum di beberapa ayat dalam al-Qur’an, di antaranya:
1. Surat At-Taubah ayat 100
Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”
Ayat ini merupakan pujian terbesar dari Allah a untuk para sahabat Nabi z yang pertama-tama masuk islam dari kalangan Muhajirin maupun Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dimana Allah d telah meridhoi mereka dan mereka pun ridho kepada Allah Z terhadap kemuliaan yang telah disediakan bagi mereka berupa surga dan kenikmatan yang kekal di dalamnya yang tiada tersentuh pun oleh kefanaan.
2. Surat At-Taubah ayat 117
Allah ta’ala berfirman,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.”
Dalam ayat yang mulia ini, kita bisa melihat secara gamblang mengenai pujian Allah a yang lain kepada para sahabat Nabi z, di mana Allah a telah menceritakan bahwa Dia telah menerima taubatnya Nabi z dan para sahabatnya dari kalangan Muhajirin maupun Anshar.
Allah b telah mengampuni dosa-dosa mereka, memaafkan kesalahan dan ketergelinciran yang pernah diperbuatnya, membentangkan bagi mereka kebaikan yang banyak dan mengangkat mereka kepada derajat yang mulia dikarenakan mereka telah tegar dan sabar dalam mengikuti Nabi z pada masa-masa sulitnya. Bahkan di antara mereka hatinya hampir saja berpaling dikarenakan begitu besarnya cobaan yang dirasakan pada saat masa-masa sulit. Akan tetapi, Allah a tetapkan hati mereka dan menerima taubatnya. Siapa saja yang telah diterima taubatnya oleh Allah a, pasti ia adalah orang yang dijamin dengan kebahagiaan di akhirat kelak.
Abdullah bin Abbas pernah berkata,
من تاب الله عليه لم يعذبه أبداً
“Barangsiapa taubatnya diterima oleh Allah, maka ia tidak akan pernah diazab selamanya.” (Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghowi, 3/129)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan akan pujian maupun sanjungan Allah a terhadap para sahabat Nabi z. Tidaklah Allah a memuji mereka melainkan Allah a telah meridhoi mereka dan setiap perbuatan yang dilakukannya. Bukankah tatkala seseorang memuji saudaranya dengan kebaikan menunjukkan bahwa ia telah meridhoinya ? Adapun ketergelinciran dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka, Allah a telah mengampuni dan telah menerima taubatnya.
Para sahabat dalam As-Sunnah
Di samping Allah a telah memuji para sahabat Nabi z, yang sejatinya pujian-Nya itu sudah cukup menjadi bukti akan kemuliaan dan tingginya kedudukan mereka. Rasulullah z juga memuji mereka di beberapa kesempatan yang semua ini menekankan akan kemuliaan mereka di hadapan Rasulullah z dan tingginya kedudukan mereka dalam islam. Di antara pujian yang telah Rasulullah z sematkan untuk para sahabatnya ialah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الناس خير؟ قال: “قرني ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم يجيء قوم تبدر شهادة أحدهم يمينه، وتبدر يمينه شهادته
“Rasulullah pernah ditanya, “Siapakah manusia yang paling baik?” Beliau bersabda, “Mereka yang hidup di zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka, dan akhirnya datanglah suatu kaum dimana persaksian salah seorang mereka melewati sumpahnya, dan sumpahnya melewati persaksiannya.” (HR. Bukhari: 2/288, Muslim: 4/1963)
Imam An-Nawawi berkata, “Para ulama bersepakat bahwa sebaik-baik zaman adalah zamannya Nabi, dan yang dimaksud ialah para sahabat beliau.” (Syarh Shahih Muslim, 16/84)
Dan dalam riwayat Imam Ahmad dari jalur Buraidah, Rasulullah bersabda:
خير هذه الأمة القرن الذي بعثت فيهم
“Sebaik-baik umat dari umat ini ialah (mereka yang hidup di) zaman dimana aku diutus di antara mereka.” (HR. Ahmad: 5/357)
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri
Hadits tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
لا تسبوا أصحابي فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهباً ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
“Janganlah kalian cela para sahabatku, karena seandainya salah seorang dari kalian berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi satu mud pun dari mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari : 2/292)
Abu Muhammad bin Hazm dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Setengah mud gandum atau kurma yang diinfakkan pada waktu itu jauh lebih utama daripada emas sebesar gunung Uhud yang kita infakkan setelahnya di jalan Allah. Allah telah berfirman,
لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” (QS. Al-Hadid: 10)
Ayat ini dimaksudkan bagi para sahabat Nabi z di antara mereka, maka bagaimana dengan yang hidup setelah mereka jika dibandingkan dengan para sahabat Nabi z?
Dan masih banyak hadits-hadits lain yang mengandung makna pujian Rasulullah z terhadap para sahabatnya yang menunjukkan akan kemuliaan dan tingginya kedudukan mereka.
Para sahabat dalam perkataan salaf
Sanjungan maupun pujian kepada para sahabat Nabi z tidak hanya terdapat pada al-Qur’an maupun as-Sunnah. Para salaf pun ikut mempersaksikan kemuliaan mereka dengan mutiara-mutiara sanjungan yang bukan basa-basi, karena mereka benar-benar telah dipersaksikan sendiri oleh Rasulullah z akan kemuliaan dan kebaikannya selama menemani Rasulullah z dalam menegakkan kalimat Allah.
Di antara perkataan salaf tersebut ialah:
1. Imam Ahmad p meriwayatkan dalam musnadnya dengan jalur periwayatannya yang sampai kepada Abdullah bin Mas’ud f bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kepada tiap-tiap hati dari hamba-Nya, dan Dia dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati di antara mereka, lantas Dia memilih dan mengutusnya dengan sebuah risalah. Setelah itu Dia melihat kepada tiap-tiap hati dari hamba-Nya setelah hati Muhammad, maka ia dapati hati para sahabatnya adalah sebaik-baiknya hati di antara hamba-Nya, kemudian Dia jadikan mereka sebagai penolong Nabinya yang berperang di atas agamanya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai sebuah kebaikan, maka hal itu adalah baik di sisi Allah, dan jika mereka melihatnya sebagai sebuah keburukan, maka ia juga buruk di sisi Allah.” (Al-Musnad: 1/379)
2. Ibnu Katsir p mengatakan dalam kitabnya,”Berkata Hamad bin Salamah dari Ayub bin As-Sikhtiyani bahwa dia berkata, “Barangsiapa mencintai Abu Bakar maka ia telah menegakkan agamanya, barangsiapa mencintai Umar maka ia telah mendapatkan jalan yang terang, barangsiapa mencintai Utsman maka ia telah mendapatkan cahaya Allah, barangsiapa mencintai Ali maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang sangat kuat, dan barangsiapa mengatakan yang baik terhadap diri para sahabat Nabi, maka ia telah terlepas dari kenifakkan.” (Al-Bidayah Wa An-Nihayah, 8/13)
3. Abu Umar bin Abdil Bar p meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Baqiyah bin Al-Walidah yang mengatakan, “Al-Auza’i berkata kepadaku, “Wahai Baqiyah, ilmu adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad, adapun apa yang tidak datang dari mereka bukanlah termasuk ilmu. Wahai Baqiyah, janganlah kamu dan juga seorang pun dari umatmu menyebut salah seorang dari sahabat Nabimu kecuali dengan kebaikan. Jika kamu mendengar seseorang menuduh keburukan terhadap orang lain, ketahuilah bahwa orang tersebut tidaklah melakukan hal itu melainkan ia telah mengatakan “aku jauh lebih baik darinya.” (Jami’ Bayan Al-Ilmi Wa Fadhlihi, 2/36)
Dan masih banyak sekali pujian maupun sanjungan para salaf kepada para sahabat Nabi z, di mana semua itu menjadi bukti nyata akan kemuliaan dan tingginya kedudukan mereka dalam agama ini.
Sikap adil terhadap para sahabat Nabi z
Imam At-Tohawi p mengatakan, “Barangsiapa mengatakan sesuatu yang baik terhadap para sahabat Nabi, kepada isteri-isterinya yang suci dari setiap keburukan, dan kepada anak keturunannya yang bersih dari setiap kotoran, maka ia telah terbebas dari kenifakkan.” (Al-Aqidah At-Tohawiyah: 57)
Beliau juga mengatakan, “Kita mencintai sahabat Rasulullah, tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka, tidak berlepas diri dari salah seorang di antara mereka, kita membenci orang-orang yang membenci mereka dan yang menyebut mereka bukan dengan kebaikan, dan kita tidak menyebut mereka kecuali dengan sesuatu yang baik. Mencintai mereka adalah bagian dari agama, iman, dan ihsan. Sementara membenci mereka adalah kekufuran, nifak, dan kezaliman.” (Al-Aqidah At-Tohawiyah: 57)
Shalih Alu Syaikh p menjelaskan tentang perkataan di atas, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda keimanan seseorang ialah mencintai para sahabat Nabi dan isteri-isteri Nabi, sementara tanda-tanda kenifakkan ialah membenci mereka dan sebagian dari isteri-isteri Nabi, atau menuduh salah seorang dari isteri Nabi.”
Beliau juga mengatakan, “Yang wajib bagi seorang muslim dan muslimah ialah meyakini mereka dengan keyakinan yang baik, memujinya dengan pujian yang indah, dan menyerahkan kepada Allah setiap perkara yang mereka perselisihkan serta mengetahui bahwa perkara yang diperselisihkannya itu adalah perkara yang mereka berhak untuk berijtihad dan mentakwilnya demi kebaikan agamanya.” (Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah, Shalih Alu Syaikh, hal 652)
Demikianlah sikap yang adil terhadap para sahabat Nabi. Inilah aqidah Ahlussunnah terhadap mereka. Tiadalah jalan kebaikan melainkan dengan mengikuti jejak mereka yang telah mendapatkan keridhan Allah a dan mereka pun telah ridha kepada Allah a.
Sejatinya, satu kesaksian saja yang datang dari Allah a itu sudah cukup menjadi bukti akan kemuliaan dan keagungan para sahabat Nabi z dalam pandangan manusia. Karenanya tiadalah rasa kebencian terhadap mereka, melainkan hatinya telah diselimuti oleh kenifakkan dan rasa dengki yang dalam terhadap kemuliaan mereka yang dipersaksikan langsung oleh Allah a dan Rasul-Nya.
Sungguh telah menyimpang jauh orang-orang yang berlebihan dalam mencintai salah satu di antara para sahabat Nabi z, telah tersesat jauh orang-orang yang membenci dan menuduh salah seorang di antara mereka dengan tuduhan yang dusta, atau melemparkan tuduhan keji terhadap salah seorang isteri-isteri Nabi z yang suci dari semua tuduhan itu. Inilah jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang syiah rafidhoh yang sangat membenci terhadap para sahabat Nabi z, dimana kebencian itu tidak lain hanyalah sebuah kenifakkan dan rasa dengki terhadap mereka yang turun temurun.
Jika mereka kuasa dan leluasa melemparkan tuduhan buruk itu kepada para sahabat Nabi di dunia ini, kelak di hari kiamat mereka pun akan leluasa terkurung dalam siksaan Allah yang amat pedih. Wallohu a’lam bishowab
Oleh : Saed As-Saedy
Referensi:
1. Matan Al-Aqidah At-Tohawiyah, At-Tohawi
2. Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh
3. Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah Fi Ash-Shohabah Al-Kirom, Nashir bin Ali ‘Aidh Hasan Asy-Syaikh, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, cetakan ke-3 tahun 1421 H/2000 M.
Sumber : www.alsofwah.or.id