Sebagian orang salah memahami perkara tawakal, mereka menyangka bahwa tawakal adalah berpaling dari sebab dan tidak mau berusaha. Ada yang berlebih-lebihan, sehingga dia berpijak secara total kepada sebab tanpa menoleh kepada peletaknya. Kedua kubu sama-sama tercela. Berikut ini adalah pemaparannya.
Pertama: kaidah teoritis bagi perkara sebab akibat
Sebab adalah sesuatu yang menyampaikan kepada suatu perkara. Secara istilah: sesuatu yang keberadaannya menuntut keberadaan sesuatu dan ketiadaannya menuntut ketiadaan sesuatu.
Definisi terminologi hanya berkisar pada sebab-sebab yang lahir, karena dari sisi lain sebuah sebab bukan merupakan sebab yang melahirkan musababnya kecuali bila ia memiliki faktor pendukung dan penghalang-perhalangnya disingkirkan darinya. Di antara makhluk tidak ada yang bisa menjadi sebab yang bersifat independen yang mampu mewujudkan tuntutannya, sebaliknya ia tetap memerlukan faktor penunjang, di samping penghalangnya harus diminggirkan.
Bila kita telah mengetahui hal ini maka selain Allah a tidak berhak untuk diminta, tidak berhak untuk disembah, tidak berhak untuk ditawakali, tidak berhak untuk diharapkan, karena selain Allah a hanyalah sebab yang tidak mampu mewujudkan akibatnya secara independen, lalu bagaimana seorang hamba menghadapkan dirinya kepada selain Allah a dan berpaling dari Allah a ?
Allah Z menetapkan sebab-sebab untuk makhluk sebagai rahmat kepada mereka, Dia menegakkan petunjuk-petunjuk atas sebab-sebab tersebut, maka apa yang Allah Z syariatkan merupakan sebab, sebaliknya apa yang tidak Allah Z syariatkan maka ia bukan merupakan sebab, terkadang petunjuk kepada suatu sebab sangat jelas, dan terkadang samar bagi sebagian orang sehingga ia memerlukan pembuktian melalui beberapa percobaan ilmiah seperti sebab-sebab suatu penyakit. Ilmu pengobatan disyariatkan secara umum, akan tetapi menetapkan bahwa penyakit anu disebabkan oleh anu memerlukan kajian.
Di antara sebab paling besar yang Allah a syariatkan untuk kita adalah doa, lebih-lebih doa al-Fatihah, “Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.” Allah a dengan rahmatNya kepada hamba-hambaNya menjadikan doa ini sebagai sebab untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah keburukan, oleh karena itu mentauhidkan Allah a, bertawakal kepadaNya dan memohon ampunan dari dosa kepadaNya merupakan kewajiban.
Oleh karena itu kaum muslimin diperintahkan untuk mengucapkan doa ini di setiap shalat, karena mereka sangat membutuhkannya, tidak ada sesuatu yang lebih mereka butuhkan daripada doa ini, maka wajib diketahui bahwa Allah Z dengan karunia dan rahmatNya menjadikan doa ini termasuk sebab paling besar yang mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Al-Qur`an menjelaskan bahwa keburukan datang dari dalam jiwa sekalipun ia tetap dengan takdir Allah dan bahwa seluruh kebaikan adalah dari Allah a.
Bila perkaranya memang demikian, maka tiada yang patut disyukuri kecuali Allah a, hendaknya seorang hamba bertaubat dari dosanya, hendaknya tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah a semata, karena tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah Z, hal ini menuntut seorang hamba untuk mentauhidkanNya, bertawakal kepadaNya semata, bersykur kepadaNya semata dan memohon ampunan hanya kepadaNya dari dosa-dosanya.
Nabi z menyatukan perkara-perkara ini dalam shalat, sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau dalam ash-Shahih bahwa beliau mendengar seseorang mengangkat kepalanya dari ruku’ dengan mengucapkan,
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Rabbana, bagiMu segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan.” Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku melihat tiga puluh lebih malaikat berlomba-lomba untuk menulisnya pertama kali.” (HR. Bukhari)
Ini adalah realisasi dari keesaan Allah Z, untuk Tauhid Rububiyah yang mencakup penciptaan, penetapan takdir, awal mula makhluk dan hidayahnya, Dialah yang memberi dan menahan, tidak ada penahan bagi apa yang Dia berikan dan tidak ada pemberi bagi apa yang Dia tahan, juga untuk Tauhid Ilahiyah yang mencakup peletakan syariat, penetapan perintah dan larangan, yakni sekalipun para hamba diberi kedudukan, kerajaan, kehormatan, kemuliaan dan kepemimpinan
Perkataan di atas mengandung realisasi dari tauhid dan realisasi dari firman Allah Ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepadaMu-lah kami meminta pertolongan.”
(QS. Al-Fatihah: 5)
Bila diasumsikan ada sebab tertentu yang bisa merealisasikan tuntutannya secara independen tanpa kehendak dan kemudahan dari Allah a, niscaya tidak wajib berharap hanya kepadaNya, tidak wajib bertawakal hanya kepadaNya, tidak wajib meminta hanya kepadaNya, tidak wajib beristighatsah hanya kepadaNya dan tidak wajib memohon pertolongan hanya kepadaNya, padahal bagiNya segala puji, Dialah tempat mengadu, tempat memohon pertolongan dan bantuan dalam kesulitan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali denganNya. Bagaimana tidak demikian sementara tidak ada satu sebab pun yang secara independen mampu mewujudkan tuntutannya, akan tetapi ia membutuhkan sebab-sebab yang lainnya, di samping itu segala penghalang dan rintangan harus disishkan darinya sehingga tuntutannya terwujud, setiap sebab memiliki patner, sebagaimana ia juga memiliki lawan, bila patnernya tidak membantunya dan lawannya tidak memberinya jalan maka akibatnya tidak terwujud.
Hujan semata tidak menumbuhkan pohon kecuali dengan faktor-faktor pendukung lainnya seperti udara, tanah dan lainnya, kemudian tanaman itu sendiri tidak tumbuh dengan baik sehingga faktor perusaknya dijauhkan darinya, makanan dan minuman tidak berguna kecuali dengan dukungan faktor-faktor penunjang dalam tubuh, dan semua itu tidak bermanfaat kecuali bila perusaknya disingkirkan darinya.
Makhluk yang memberi atau menolongmu, di samping Allah a memberinya keinginan, kekuatan dan kemampuan untuk berbuat, sekalipun demikian apa yang dilakukannya tidak terwujud kecuali dengan sebab-sebab yang banyak di luar kodratnya yang membantunya mewujudkan apa yang dikehendakinya, sekalipun yang bersangkutan adalah raja yang ditaati, faktor-faktor perintang dan penghalang bagi sebab-sebab yang saling menunjang harus disisihkan, sehingga sesuatu harapan tidak akan terwujud kecuali bila sebabnya terwujud dan penghalangnya terangkat.
Setiap sebab yang tertentu hanyalah bagian dari penentu, di alam ini tidak ada sesuatu yang satu yang merupakan penentu secara sempurna, sekalipun ia disebut dengan penentu sedangkan selainnya yang menunjangnya disebut syarat, maka hal ini hanyalah perselisihan lafzhi semata. Adapun anggapan bahwa di antara makhluk-makhluk terdapat illat yang sempurna yang menuntut akibatnya maka ia adalah batil.
Barangsiapa mengetahui hal ini dengan benar maka terbukalah baginya pintu tauhid kepada Allah Z, dia mengetahui bahwa tidak ada yang berhak untuk dimintai kecuali Allah a, alih-alih diibadahi, ditawakali dan diharapkan kecuali Allah Ta’ala semata.
Di antara perkara yang patut diketahui adalah apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa bersandar kepada sebab merupakan kesyirikan dalam tauhid, sedangkan menghapus sebab untuk menjadi sebab merupakan kekurangan pada akal serta berpaling dari sebab secara total menciderai syariat. Dan makna tawakal dan berharap tersusun dari tuntutan tauhid, akal dan syariat.
Keterangannya begini, bahwa bersandar kepada sebab adalah berpijaknya hati kepadanya, harapan hati kepadanya dan tumpuannya kepadanya, padahal di antara makhluk tidak ada yang berhak mendapatkannya, karena makhluk tidak independen, dia membutuhkan sekutu, dia memiliki lawan, di samping semua ini, bila peletak sebab tidak memudahkannya maka ia tidak mudah.
Nabi z mengambil sebab namun tidak bersandar kepadanya
Sebagian orang mengira bahwa tawakal menafikan usaha dan mengikuti sebab, dan bahwa bila segala perkara telah ditakdirkan maka sebab tidak lagi dibutuhkan. Ini adalah anggapan yang rusak, karena di antara usaha ada yang wajib, ada yang mustahab (dianjurkan), ada yang mubah (boleh dan tidak dilakukan), ada yang makruh (dibenci) dan ada pula yang haram (dilarang), sebagaimana hal itu diketahui di tempatnya.
Nabi z adalah orang yang bertawakal paling utama, namun begitu beliau tetap memakai baju perang, berjalan masuk ke pasar untuk mendapatkan rizki sehingga orang-orang kafir berkata,
مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
“Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS. Al-Furqan: 7)
Kamu melihat banyak orang yang berpandangan bahwa berusaha menafikan tawakal mendapatkan rizki melalui tangan orang-orang yang memberi mereka, bisa dalam bentuk sedekah, bisa dalam bentuk hadiah, dan hal itu bisa berasal dari pungli atau pengawal penguasa atau selainnya dan itu adalah kerendahan.
Syarah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz al-Hanafi.
Sumber : alsofwa.or.id